Melawan Keganjilan

laporan

Perempuan (sebagai) kepala keluarga?

Di satu negeri seepeerti Indonesia –di mana budaya “kelelakian” atau “kebapakan” (patriarki) sudah sangat berkarat dalam pranata sistem kemasyarakatannya– gagasan tentang perempuan sebagai kepala keluarga adalah benar-benar menentang arus. Ada semacam keengganan untuk mengakuinya. Pembenarannya bisa dari berbagai sumber: ajaran agama, adat kebiasaan, atau bahkan sekedar alasan ‘suka atau tidak suka’.

Padahal, dalam kenyataannya, memang ada dan banyak sekali perempuan di negeri ini yang benar-benar berperan sebagai kepala keluarga, dalam artian yang sesungguhnya. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2014 menghidangkan angka yang cukup mencengangkan: 14.84 rumah tangga –yakni sekitar 9 juta keluarga yang mencakup lebih dari 37 juta penduduk– negeri ini senyatanya dikepalai oleh perempuan. Itu berarti terrjadi penambahan rerata 0.1% per tahun sejak 1985. Upaya memberdayakan Perempuan Kepala Keluarga awalnya adalah bagian dari upaya pembangunan untuk pengentasan kemiskinan. Melalui inisiatif yang diberi nama Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), pada akhir tahun 2001 pengorganisasian Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) miskin mulai dilakukan.

Kelompok Pekka pertama terbentuk tanggal 2 Februari 2002 di Pulau Adonara sebagai kelompok simpan pinjam dan gerakan sosial. Sejak itu ratusan kelompok Pekka tumbuh dan berkembang secara perlahan di berbagai wilayah Indonesia. Kelompok Pekka mulai berproses menjadi Serrikat Pekka pada tahun 2008 dan pada November 2013 untuk pertama kalinya mendeklarasikkan Federasinya di tingkat Nasional kepada publik.

Lengkapi formulir berikut untuk mengakses dokumen ini